BERBAGI RASA : BERTAHAN KETIKA DIHANCURKAN
Pagi
itu, seperti biasa, matahari menyingsing ditemani burung yang berkicauan,
sekilas aku tersadar, tadi malam, mata ku tak ingin berhenti menjatuhkan air
mata, karna jatuhnya hati yang selalu ku jaga, jatuhnya hati yang selalu ku
damba, padahal hati ku masih begitu rapuh, jatuhnya ia kali ini menjadi prahara
terbesar abad ini, versi hati ku sendiri.
Ya, memang benar hatiku rapuh, ia baru saja sembuh dari luka tusuk yang pernah dihujamkan pada hati ku, bak pisau bermata dua, dia berhasil mengoyak hati ku dengan begitu mudahnya, hanya karna kata “Hai calon istriku” yang ia ucapkan kepada wanita berrambut panjang waktu itu. Dan kali ini, hal yang sama terulang kembali, bukan kepada wanita berambut panjang, tapi kepada wanita berhijab ungu. Andai waktu itu aku tuli, mungkin aku masih mencintaimu hingga kini, bertahan dalam kebohongan yang kau ciptakan.
Apalah daya ku ketika Tuhan sangat menyayangiku, menunjukkanku apa itu kebenaran, apa itu keadilan, apa itu kebohongan, kau yang ku kira baik untukku, ternyata tidak versi Tuhanku, Tuhanku menginginkan yang jauh lebih baik darimu. Dan maaf, sepertinya akulah yang terlalu baik untukmu, karna sejatinya, pembohong lebih pantas bersama pembohong yang lain.
Aku terlalu naif? Iya memang, lalu kenapa? Kau yang mengajariku rasa sakit ini, jadi menurutmu aku akan berduka lalu meratapi semuanya. Tidak, justru luka itu yang mengajariku arti dari tidak peduli. Aku bahkan kini tidak peduli, yang aku tau kau hanya memilih pilihanmu sepihak, tanpa peduli waktu itu aku masih kekasihmu, jadi aku hargai pilihan mu dan berjalan pergi, semoga kau bahagia bersamanya. Aku sesekali berbisik, semoga karma melakukan tugasnya.
Ya, memang benar hatiku rapuh, ia baru saja sembuh dari luka tusuk yang pernah dihujamkan pada hati ku, bak pisau bermata dua, dia berhasil mengoyak hati ku dengan begitu mudahnya, hanya karna kata “Hai calon istriku” yang ia ucapkan kepada wanita berrambut panjang waktu itu. Dan kali ini, hal yang sama terulang kembali, bukan kepada wanita berambut panjang, tapi kepada wanita berhijab ungu. Andai waktu itu aku tuli, mungkin aku masih mencintaimu hingga kini, bertahan dalam kebohongan yang kau ciptakan.
Apalah daya ku ketika Tuhan sangat menyayangiku, menunjukkanku apa itu kebenaran, apa itu keadilan, apa itu kebohongan, kau yang ku kira baik untukku, ternyata tidak versi Tuhanku, Tuhanku menginginkan yang jauh lebih baik darimu. Dan maaf, sepertinya akulah yang terlalu baik untukmu, karna sejatinya, pembohong lebih pantas bersama pembohong yang lain.
Aku terlalu naif? Iya memang, lalu kenapa? Kau yang mengajariku rasa sakit ini, jadi menurutmu aku akan berduka lalu meratapi semuanya. Tidak, justru luka itu yang mengajariku arti dari tidak peduli. Aku bahkan kini tidak peduli, yang aku tau kau hanya memilih pilihanmu sepihak, tanpa peduli waktu itu aku masih kekasihmu, jadi aku hargai pilihan mu dan berjalan pergi, semoga kau bahagia bersamanya. Aku sesekali berbisik, semoga karma melakukan tugasnya.
#UNIQCANDY
Comments
Post a Comment